Nama saya Alfons. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas di kota Yang Zhou, Tiongkok. Tahun 2021, saya seharusnya sudah menyelesaikan pendidikan saya dan memulai program adaptasi agar dapat berpraktek sebagai dokter di Indonesia. Namun sampai saya menuliskan naskah ini, saya masih belum dapat menyelesaikan pendidikan saya akibat pandemi Covid-19 yang berlarut-larut. 

Agar dapat lebih memahami cerita saya, saya ceritakan sedikit latar belakangnya. Saya memulai pendidikan dokter tahun 2015. Saya adalah satu-satunya mahasiswa Indonesia diantara 58 murid lainnya di angkatan Fakultas Kedokteran Internasional atau disebut kelas MBBS (Bachelor of Medicine, Bachelor of Surgery, gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah menempuh Pendidikan Kedokteran dengan standar United Kingdom). Teman-teman satu angkatan saya kebanyakan berasal dari India dan Bangladesh, sementara yang lainnya ada yang berasal dari Kongo dan Yemen. 

Pendidikan dokter di Tiongkok selesai dalam 6 tahun, hampir sama dengan di Indonesia. Yang menjadi perbedaan adalah pada tahap preklinik dan pendidikan profesi. Kurikulum preklinik di Tiongkok menyuguhkan materi per subjek secara utuh seperti pembagian materi di jenjang SMA, misalkan di semester 3 saya mendapatkan materi anatomi, fisiologi dan biokimia, di semester berikutnya akan berganti ke subjek lain seperti patofisiologi, imunologi, dsb. Sementara di Indonesia, pemaparan materi menggunakan sistem blok dimana mahasiswa mempelajari semua materi berhubungan dengan sistem organ tertentu. Contoh sistem organ gastrointestinal, akan dibahas secara anatomi, fisiologi, patofisiologi, dsb. Di semester berikutnya akan membahas sistem organ yang lain. Meskipun terdapat perbedaan dalam metode pemaparan materi, namun berdasarkan obrolan saya dengan teman-teman lain yang berkuliah di Indonesia sebenarnya isi yang didapatkan tidak jauh berbeda. 

Sementara pendidikan profesi dokter dilakukan di tahun keenam dan disebut sebagai internship selama satu tahun saja. Cukup cepat apabila dibandingkan dengan di Indonesia yaitu 2 tahun co-ass dan 1 tahun internship. Apabila semua kegiatan berjalan dengan lancar, maka seharusnya saya bisa lulus pada tahun 2021 akan tetapi kondisi dunia membuat saya harus berkompromi.

Berita pandemi dimulai di Cina bertepatan dengan libur musim dingin tahun 2020. Saat itu saya sedang memasuki semester genap tahun kelima. Saya (untungnya) sudah berada di Indonesia karena saya berpikir ini adalah kesempatan terakhir saya kembali ke Indonesia sebelum melaksanakan koas. Satu angkatan kami panik dan bertanya kepada perwakilan universitas mengenai kelanjutan pembelajaran kami.

Singkat kata, diputuskan bahwa keadaan tidak memungkinkan untuk mahasiswa dari luar Tiongkok untuk Kembali ke universitas masing-masing dan pembelajaran dilaksanakan secara online untuk semester ini. 

Pembelajaran online yang diterapkan universitas kami saat itu seperti uji coba. Tidak ada yang siap dengan kondisi pandemi yang memaksa orang tidak bisa keluar rumah dan melakukan segala sesuatunya online. Tugas sangat minim karena dosen-dosen juga masih membiasakan diri membuat konten video mengajar yang kemudian ditayangkan di website kelas. Meskipun ada beberapa kendala, namun akhirnya kami semua dapat menyelesaikan semester terakhir kami sebelum internship secara online dengan baik. 

Pertanyaan besar muncul setelah ini, bagaimana caranya kami melakukan internship? Apakah diberlakukan secara online juga? Atau kami diberi kesempatan kembali ke Tiongkok? Saya dan semua teman angkatan sangat berharap pada kemungkinan yang kedua. Tetapi jawaban yang kami dapat dari pihak universitas membuat kami kehilangan semangat. Kami tidak bisa kembali ke Tiongkok tapi kegiatan internship juga tidak bisa diadakan secara online. 

Teman-teman saya dari India cukup beruntung. Sistem negara mereka cukup baik membantu mahasiswa kedokteran dari luar negeri agar dapat berpraktek di India. Di tahun kelima, akhir dari tahun preklinik, apabila peserta didik ingin mengikuti co-ass di India, maka mereka dapat mengikuti ujian kualifikasi yang diselenggarakan oleh Konsil Kedokteran India (Medical Council of India/MCI). Setelah lulus ujian, para siswa dapat memilih lokasi internship di rumah sakit. Setelah menyelesaikan rotasi, mereka dapat kembali ke Tiongkok untuk ujian akhir dan mendapatkan ijazah.

Namun yang saya alami tidak semudah teman-teman India saya. Karena perbedaan kurikulum, masa co-ass hanya dapat dilakukan di rumah sakit pendidikan yang mau bekerja sama dengan universitas asal. Proses untuk mencari rumah sakit mana yang mau menerima cukup membingungkan dan memakan waktu. Singkat cerita, saya baru menemukan rumah sakit yang mau menerima di tahun 2022.

Lalu apa yang saya lakukan diantara 2020-2022? Selain mencari rumah sakit yang mau menerima saya, waktu saya cukup kosong. Awalnya terasa menyenangkan karena seperti mendapatkan liburan panjang, tetapi lama-kelamaan semakin terasa berat dan membuat saya hampir kehilangan semangat untuk melanjutkan pendidikan saya.

Di tahun 2020, setelah menyelesaikan semester terakhir preklinik saya memutuskan untuk memulai usaha kecil. Saya mempunyai hobi memasak dan ada keinginan untuk membuka klinik dengan  restoran atau sejenisnya. Jadi bagi saya itu seperti langkah kecil yang dapat dilakukan untuk mencapai keinginan itu. Awalnya saya membuka pesanan melalui Instagram dengan sistem pre-order, kemudian ditambah dengan pemesanan melalui layanan pesan antar makanan online. Saya menjalankan usaha kecil ini kira-kira selama 6 bulan. Tapi kemudian saya hentikan karena di tahun 2021, saya akhirnya dapat mendaftar menjadi relawan di Sentra Vaksin Serviam dan tidak ada yang bisa melanjutkan bisnis ini.

Saya sudah lama ingin ikut menjadi relawan untuk membantu penanganan pandemi, tetapi kualifikasi saya yang belum lulus membuat kesempatan saya cukup minim. Ditambah lagi kekhawatiran orang tua saya akan rentannya tertular Covid 19. Tapi saya tetap mencoba untuk mendaftar. Setelah berbicara dengan panitia, saya diterima dan memulai kegiatan harian saya sebagai relawan. Banyak yang saya pelajari selama menjadi relawan dan banyak kesempatan lain yang terbuka. Saya mendapatkan beberapa teman baru yang ternyata juga memiliki cerita serupa dengan saya. Dari situ saya dapat tetap semangat untuk menempuh perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Saat ini saya mulai magang dengan salah satu dokter yang saya pertama kali kenal di sentra vaksin tersebut. Beliau adalah seorang dokter bedah digestif di salah satu rumah sakit di Jakarta. Beliau adalah dokter yang sangat sederhana dan rendah hati. Saya banyak belajar saat magang dengan beliau. Selain itu saya juga mulai ikut dalam Komunitas Sehatara sebagai editor video. Sehatara adalah sebuah komunitas yang berfokus dalam edukasi kesehatan untuk teman-teman disabilitas tuli & netra. Awal mula bisa bergabung dengan komunitas ini juga tidak lain berawal ketika saya rutin bertugas di Sentra Vaksin Serviam. 

Terkadang, saya masih sering merasa sedih karena waktu lulus saya jadi tertunda, apalagi banyak teman seangkatan saya yang sempat sama-sama tertahan rotasi co-ass karena pandemi satu per satu mulai lulus lebih dahulu daripada saya. Pikiran-pikiran negatif lainnya menyusul dan sering membuat saya kehilangan arah. Namun salah satu perbincangan dengan dokter yang saya kenal membuat saya sadar bahwa ada berkat yang tersembunyi dari semua ini.

Beliau berkata bahwa lulus tepat waktu belum tentu berarti karier juga akan segera sukses. Berhenti sejenak selama satu hingga dua tahun juga dapat berguna untuk refleksi diri dan menemukan tujuan hidup kita yang sesungguhnya karena sering tidak terpikir oleh pikiran yang hanya terfokus pada keinginan untuk cepat lulus.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pesan kepada teman-teman lainnya yang mungkin dalam keadaan yang sama atau juga merasa terjebak dengan munculnya pandemi ini. Jangan menyerah!  Jelajahi minat lama yang mungkin pernah kamu tinggalkan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita temukan sebelum mencoba, barangkali yang kita cari selama ini muncul di tempat yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

——————————————————————————————– 

Artikel ini ditulis oleh Tirta Setiawan Tjokroprawiro, dipanggil Alfons dari nama baptis dan tidak membuka bisnis cuci sepatu. Doing my best, one step at a time. 

Tinggalkan komentar

Quote of the week

Aborsi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga isu kekuasaan dan kontrol. Dalam situasi kekerasan seksual, aborsi sering kali tidak menjadi pilihan yang dapat diambil oleh perempuan korban.

Designed with WordPress