Mengapa Medis Tidak Menyetujui Kawin Anak

Perkawinan anak sampai sekarang masih merupakan masalah sosial yang terus marak dilanggengkan. Berdasarkan data BPS yang didukung UNICEF, meskipun angka perkawinan anak di bawah usia 15 tahun di Indonesia sudah mulai menurun, namun tren kawin anak di usia 16-17 ternyata malah semakin meningkat.1 Padahal, perkawinan anak sebetulnya memiliki beberapa risiko dari sisi medis, mulai dari masalah kesiapan diri, proses kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

Isu kawin anak sempat dibahas oleh Poppy R. Dihardjo bersama dr. Sandra Suryadana dari Dokter Tanpa Stigma pada Mei 2020. Perkawinan anak memang merupakan permasalahan yang bisa banyak dikupas dari sisi sosial, politik, dan hukum; tetapi kali ini kita lebih berfokus pada kendala-kendala medis yang bisa terjadi, serta risiko tinggi yang dihadapi.

Remaja perempuan menyilangkan tangan
Foto: Gustavo Fring, Pexels

Hubungan Seksual dan Kehamilan di Usia Dini

Dari sisi medis, salah satu risiko terletak pada hubungan seks yang terlalu dini yang dapat berakibat kehamilan yang juga terlalu dini. Remaja cenderung kurang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hubungan seks yang aman, infeksi menular seksual (IMS), dan berbagai komplikasinya.

Semakin awal remaja mulai aktif secara seksual semakin besar resiko mereka tertular IMS terutama remaja perempuan. Padahal beberapa penyakit ini sering tidak terdeteksi pada perempuan, namun memiliki efek jangka panjang yang mematikan seperti kanker leher rahim.

Ketika memasuki usia pubertas, remaja perempuan mulai mengalami pematangan ciri seksual primer (perkembangan organ reproduksi seperti rahim, indung telur, sel telur dan seterusnya) dan sekunder (payudara dan panggul yang membesar, rambut-rambut di berbagai bagian tubuh, dan seterusnya). 

Cukup sering terjadi kematangan sel telur terjadi lebih dini dibanding perkembangan seksual dan reproduksi lainnya yang dapat mendukung kesehatan kehamilan. Sehingga, pada remaja, sel telur bisa sudah matang untuk dibuahi, padahal tubuh remaja belum berkembang sepenuhnya. Sel-sel telur ini pun meski bisa dibuahi, kualitasnya belum baik. Sebab itulah banyak ditemukan kejadian sindroma Down pada bayi dari ibu yang terlalu muda ataupun terlalu tua, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.2

Jadi, kesiapan untuk kehamilan yang sehat tidak hanya tergantung pada kemampuan sel telur untuk dibuahi saja. Selain kualitas sel telur yang belum memadai, siklus hormon remaja juga masih belum stabil dan kesiapan rahim belum maksimal. Ditambah lagi, rongga panggul masih belum mencapai ukuran dan kapasitas penyesuaian optimal, yang idealnya dicapai pada usia 25-30 tahun.3 Rongga panggul yang belum berukuran optimal ini juga bisa menyebabkan masalah pada persalinan kelak.

Risiko Remaja dalam Persalinan dan Pasca Persalinan

Selain panggul sempit, ada banyak sekali bahaya yang dihadapi remaja dalam persalinan. Karena remaja masih mengalami proses tumbuh-kembang untuk dirinya sendiri, bayi dalam kandungan jadi tidak mendapat nutrisi yang memadai sehingga pertumbuhannya terganggu dan janin terlahir kecil. Selain itu, remaja perempuan juga rentan mengalami anemia. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada perempuan usia ≥15 tahun sebesar 22,7%.

Hal ini bisa menyebabkan kekuatan kontraksi rahim kurang baik dan ibu juga belum bisa mengejan dengan kuat. Lemahnya kontraksi rahim ini kemudian bisa memicu perdarahan pasca persalinan, yang merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dalam persalinan.

Dari data Kementerian Kesehatan RI mengenai profil kesehatan Indonesia, memang terjadi penurunan angka kematian ibu dalam rentang tahun 1991-2015, dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Namun angka ini masih jauh dari harapan MDGs 2015, yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini pun hanya menggambarkan kelahiran hidup dan tidak termasuk ibu yang meninggal bersama bayinya. Menurut Kemenkes, salah satu faktor risiko untuk terjadinya kematian ibu ialah melahirkan di usia di bawah 21 tahun.4

Penyebab tersering kematian ibu selain perdarahan adalah preeklamsia dan eklamsia, yaitu kondisi tekanan darah tinggi pada ibu hamil yang dapat memunculkan berbagai komplikasi fatal seperti kejang-kejang dan kegagalan multi organ. Preeklamsia biasanya dapat dideteksi lebih awal dengan cara melakukan antenatal care/ pemeriksaan kehamilan rutin.

Masalahnya pada kehamilan remaja, pemeriksaan ini jarang sekali dilakukan karena kurangnya akses, rendahnya edukasi kesehatan reproduksi dan nihilnya support system.

Setelah persalinan pun, masih ada risiko yang patut dikhawatirkan. Remaja yang secara psikologis belum stabil akan lebih rentan mengalami depresi pasca persalinan, yang bila tidak ditangani dengan benar, bisa berujung pada bunuh diri. Stigma yang melekat di masyarakat pun memaksa remaja perempuan harus menghadapi proses ini sendirian. Kondisi ini dapat memperburuk atau memicu berbagai masalah psikologis lainnya.

Permudah Akses dan Tingkatkan Edukasi Kespro

Meskipun usia ideal untuk hamil adalah di puncak masa subur dalam rentang usia 20-30 tahun, bukan berarti orang di luar rentang usia tersebut tidak bisa menjalani kehamilan dan persalinan yang sehat. Sebaliknya, kehamilan di usia ideal pun bukan tanpa resiko. Tenaga kesehatan bisa lebih cepat waspada akan risiko-risiko yang mungkin terjadi pada usia yang terlalu muda atau terlalu tua, sehingga ada langkah-langkah khusus yang bisa diambil bagi para ibu hamil risiko tinggi ini. Misalnya, ketika ditemukan tanda-tanda kendala medis dalam pemeriksaan rutin, bidan bisa merujuk ibu kepada dokter spesialis kebidanan untuk ditangani lebih lanjut.

Sementara, yang dikhawatirkan dari kehamilan remaja adalah mereka menolak memeriksakan diri ke dokter maupun bidan, biasanya karena malu atau karena kesadaran diri dan lingkungan masih amat rendah. Kawin anak juga sering terjadi pada kelompok pendidikan dan ekonomi rendah,1 yang kurang memiliki akses ke fasilitas kesehatan. Jadi, mereka berada dalam posisi rentan tanpa kesiapan menghadapi risiko-risiko tinggi tadi, yang bisa berakibat fatal.

Langkah yang harus dilakukan adalah memperbanyak edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Dalam obrolan mereka, Poppy dan dr. Sandra setuju bahwa edukasi di Indonesia masih amat kurang mengenai kehamilan dan persalinan, sehingga masyarakat sering berpikir bahwa risiko-risiko medis ini tidak mungkin menimpa mereka. Masyarakat jadi cenderung lebih permisif membiarkan terjadinya fenomena nikah muda. Padahal, masih banyak orang yang masih belum paham bagaimana dampak fisik dan psikologis dari kehamilan dan persalinan di usia terlalu muda baik pada ibu maupun pada bayinya. Dengan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai bahaya medis dari perkawinan anak, diharapkan kualitas hidup anak-anak Indonesia pun menjadi lebih baik.

Referensi:

  1. Subdirektorat Statistik Rumah Tangga. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2016. https://www.bps.go.id/publication/2016/01/04/aa6bb91f9368be69e00d036d/kemajuan-yang-tertunda–analisis-data-perkawinan-usia-anak-di-indonesia.html
  2. Duncan FE. Egg Quality during the Pubertal Transition—Is Youth All It’s Cracked Up to Be? Frontiers in Endocrinology 2017; 8: 226. DOI: 10.3389/fendo.2017.00226
  3. Huseynov A, Zollikofer CPE, Coudyzer W, de Leon MSP. Developmental evidence for obstetric adaptation of the human female pelvis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 2016; 113 (9): 5227-32. https://doi.org/10.1073/pnas.1517085113
  4. Hardhana B, Sibuea F, Widiantini W, Editors. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2020. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s