Menghadapi Kehamilan yang Tidak Direncanakan

Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) adalah fenomena gunung es yang tampak sebagai efek dari berbagai problema sistematis di masyarakat, mulai dari kurangnya edukasi dan kesadaran individu sampai kondisi sosial budaya yang secara kolektif tidak memiliki keberpihakan terhadap perempuan. Menurut WHO, di antara 210 juta kehamilan di dunia tiap tahunnya, 87 juta di antaranya tidak direncanakan; sementara itu 22 dari 1000 perempuan menjalani aborsi tidak aman, yang menyumbang sampai 13% angka kematian ibu.1 Menurut BKKBN, di tingkat nasional, presentase KTD mencapai 17,5%.2

Selain remaja, sering juga KTD dialami oleh perempuan dewasa dan juga yang sudah menikah. Jadi, fenomena KTD tidaklah berkaitan dengan usia maupun status pernikahan. Selain risiko terjadinya aborsi tidak aman yang bisa mengancam nyawa, dampak KTD pun luas terhadap masyarakat. Secara keseluruhan, kehamilan yang tidak direncanakan juga menambah beban ekonomi dan lapangan pekerjaan; risiko tingginya tekanan psikologis; terhambatnya pendidikan; sampai naiknya angka kriminalitas.1

Mengapa KTD Bisa Terjadi?

Dalam diskusi daring kolaborasi Dokter Tanpa Stigma dengan Daya Riset dan Advokasi Perempuan Indonesia (Droupadi) serta Perkumpulan Samsara pada Mei 2020, ada beberapa penyebab yang masih mengakar di masyarakat kita, sehingga masih banyak terjadi KTD.

Tonton diskusi lengkapnya di sini.

Kurangnya edukasi seksualitas

Kebanyakan orang masih menganggap tabu edukasi tentang kesehatan reproduksi, seksualitas, dan kehamilan. Padahal, dengan edukasi, ada banyak informasi mengenai berbagai risiko dan pilihan yang mungkin bisa dihadapi. Akibatnya, banyak yang tidak mengetahui pentingnya memiliki responsible sexual behavior alias perilaku seksual yang bertanggung jawab. Masih banyak yang memercayai mitos-mitos seperti berhubungan seks pertama kali tidak mungkin hamil, dan lain-lain. Menurut Ni Luh Gusti Madewanti, yang kerap disapa Anti, konselor dan founder Droupadi, fokus terpenting kita adalah pada comprehensive sexuality education (CSE) atau edukasi seksualitas komprehensif.

Kurangnya akses kontrasepsi dan layanan kesehatan reproduksi khususnya bagi perempuan yang belum menikah

Pelayanan kontrasepsi di fasilitas kesehatan Indonesia sebetulnya termasuk baik di Asia Tenggara. Sudah ada 97,5% puskesmas yang memiliki layanan KIA/ KB, meskipun hanya 32,3% puskesmas yang memiliki kecukupan sumber daya dalam menjalankan program KB.3 Namun layanan ini pun masih hanya bisa didapatkan oleh orang yang sudah menikah. Masih ada stigma dari masyarakat yang membuat orang yang tidak menikah kesulitan mendapatkan akses kontrasepsi.

Kekerasan seksual

Sampai saat ini, ruang aman bagi perempuan masih amat terbatas, dibuktikan dengan tingginya angka kekerasan seksual. Pada periode Januari-Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima aduan 4500 kasus kekerasan terhadap perempuan.4 Kekerasan pun masih banyak terjadi di lingkungan sekolah dan universitas, sehingga banyak korbannya yang masih di usia sekolah.

Perempuan bersedih
Foto: Kat Smith, Pexels

Budaya patriarki yang masih terus dipupuk

Menurut Narriswari, yang akrab disapa Narris, staf edukasi Perkumpulan Samsara, budaya patriarki menyebabkan perempuan sejak awal tidak memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Ada ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan perempuan disubordinatkan atau dijadikan objek, sehingga perempuan sering tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri. Seringkali kita temukan suami atau pasangan laki-laki memaksakan atau menolak menggunakan moda kontrasepsi tertentu, sehingga perempuan pun terpaksa mengikuti dan menjalani semua risikonya sendiri.

Pernikahan usia dini

Fenomena kawin anak masih sering dilakukan karena tuntutan keluarga maupun tekanan sosial. Biasanya, hal ini juga diiringi rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat.

Apa yang Harus Dilakukan Bila Mengalami KTD?

  1. Tenangkan dirimu dan usahakan agar kamu dapat berpikir jernih.
  2. Pastikan kehamilanmu dengan menggunakan tes kehamilan, pemeriksaan USG, atau penghitungan manual.
  3. Hubungi orang terdekat yang kamu percaya. Kamu membutuhkan support system yang baik ketika menghadapi tekanan psikologis yang cukup berat.
  4. Hubungi layanan konseling profesional dan minta orang terdekatmu untuk menemani. Dengan demikian, kamu bisa mendapatkan edukasi menyeluruh tentang kehamilan dan pilihan-pilihanmu, sehingga kamu bisa membuat informed decision. Salah satu lembaga yang menyediakan jasa konseling KTD adalah Perkumpulan Samsara (@perkumpulan.samsara). Manfaat konseling, menurut Narris dari Perkumpulan Samsara, antara lain agar kamu bisa menghadapi kesukaran yang mungkin masih sulit dirumuskan sendiri; mengenal diri sendiri dan menerima keadaan diri secara realistis; serta menjaga kesehatan mentalmu dengan cara memberikan dukungan.
  5. Tentukan rencana selanjutnya sesuai hasil keputusanmu sendiri dengan mempertimbangkan semua risiko yang ada.

Memangnya Saya Punya Pilihan?

Kalau kamu mengalami KTD, bukan berarti kamu tidak punya pilihan. Berikut ini beberapa pilihan yang bisa kamu pertimbangkan:

Pilihan 1: Melanjutkan kehamilan dengan atau tanpa pasangan.

Meskipun KTD juga bisa terjadi pada orang yang sudah menikah, banyak pula yang harus menghadapi berbagai stigma karena ‘hamil di luar nikah’ dan kebingungan apakah harus menikah atau tidak. Tentunya keputusan ini harus dipertimbangkan matang-matang, sebab keduanya sama-sama memiliki pro dan kontra. Menjadi ibu tunggal di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan, termasuk perempuan yang bekerja sambil mengurus anak. Namun jika kehamilan terjadi akibat kekerasan seksual atau tanpa consent, menikah dengan ayah si anak justru bisa membangkitkan trauma mendalam pada diri ibu.

Sementara itu, meskipun menikah ‘karena terpaksa’ juga berpotensi memiliki banyak masalah di kemudian hari; tetapi bukan berarti mustahil untuk berhasil. Dalam obrolan antara Dokter Tanpa Stigma dengan Grace Melia pada Mei 2020, Grace menjelaskan bahwa kita masih punya kesempatan memiliki pernikahan yang berbahagia meskipun diawali dengan unplanned pregnancy. Selain menekankan pada consent kedua belah pihak untuk bersedia menikah dan merawat anak bersama, hubungan baik bisa tetap dijaga dengan menerapkan komunikasi yang baik, mengatur jadwal agar sempat memiliki waktu berdua, dan dengan bersama-sama mencari solusi jika ada masalah, misalnya dengan cara konseling.

Pilihan 2: Melanjutkan kehamilan, lalu menyerahkan anak untuk diadopsi.

Kini, sudah mulai banyak yayasan ataupun komunitas yang bergerak langsung untuk merangkul perempuan yang mengalami KTD dengan cara memberikan rumah aman, kelas edukatif, dan jasa konsultasi psikologis. Karena yang mengalami KTD banyak berasal dari kelompok minoritas yang tidak memiliki akses kesehatan dan ekonomi yang memadai, yayasan-yayasan ini bersedia membantu memberikan tempat, perawatan antenatal, perawatan saat persalinan dan pasca persalinan, serta menampung bayi tersebut jika sang ibu memutuskan untuk mengadopsikan. Salah satunya adalah Yayasan Rumah Tumbuh Harapan (@rumahruth) di Jawa Barat, atau Yayasan Metta Mama & Maggha (@mettamamamaggha) di Bali.

Pilihan 3: Menghentikan kehamilan.

Pilihan menghentikan kehamilan alias aborsi masih merupakan hal yang tabu di Indonesia. Selain itu, melakukan aborsi tanpa indikasi kegawatdaruratan medis serta sebelum terbukti akibat perkosaan masih dilarang menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ini membuat banyak perempuan terpaksa melakukan aborsi tidak aman yang memiliki risiko tinggi sampai berakibat kematian.

Baca juga : Aborsi: Definisi, Legalitas, dan Kesulitan bagi Penyintas

Psychological First Aid untuk KTD

Seseorang yang mengalami KTD tentunya dilanda tekanan psikologis yang amat besar, sebab pengalaman tersebut seringkali menakutkan dan menimbulkan perasaan tidak berdaya. Dalam perbincangan antara dr. Sandra dari Dokter Tanpa Stigma dengan Karina Negara, psikolog dari Kalm, pada Februari 2022, ada beberapa poin penting yang harus diingat dalam memberikan psychological first aid.

Jika ada teman/ saudara/ kenalanmu yang mengalami KTD dan meminta bantuanmu, berikanlah empati dan dengarkan ceritanya dengan tetap menjaga rahasia. Sebagai bagian dari support system mereka, kamu harus berusaha memberikan perlindungan atau ruang aman. Berikan validasi atas perasaan dan pengalaman mereka, dan jangan sekali-sekali memberi stigma buruk maupun opini pribadimu tanpa diminta.

Salah satu bentuk bantuan yang bisa kamu berikan adalah mencarikan informasi yang akurat dan bisa dipercaya, termasuk juga mendampingi mereka untuk menjalani konseling. Pada akhirnya, dukung mereka untuk membuat rencana sendiri atas diri mereka, dan kita harus tetap memberi dukungan terlepas dari apa pun keputusan mereka.

Utamanya, poin-poin ini penting untuk diingat oleh para orangtua yang memiliki anak usia remaja, sebab remaja yang mengalami KTD seringkali hanya memiliki orangtua sebagai tempat utama mencari bantuan. Jadi, kepercayaan dan dukungan dari orangtua sangatlah penting, ditambah lagi jangan sampai ada paksaan solusi pribadi dari orangtua seperti paksaan pernikahan.

Fenomena KTD tentunya membutuhkan perubahan di berbagai bidang untuk bisa diminimalisir. Mulai dari aparatur pemerintah dan penegak hukum yang harus memiliki perspektif/ keberpihakan terhadap perempuan, tenaga layanan kesehatan yang tidak menghakimi pasien, sampai di ranah keluarga yang harus memberi support system yang baik. Pengelolaan isu ini dengan tepat akan bisa menyelamatkan nyawa serta memperbaiki kesejahteraan perempuan dan generasi muda.

Referensi:

  1. Yazdkhasti M, Pourreza A, Pirak A, Abdi F. Unintended Pregnancy and Its Adverse Social and Economic Consequences on Health System: A Narrative Review Article. Iranian Journal of Public Health 2015; 44 (1): 12-21. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4449999/
  2. Mashabi S. BKKBN: Kehamilan Tak Diinginkan di Indonesia Rata-Rata 17,5%. Kompas; 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/15030631/bkkbn-kehamilan-tak-diinginkan-di-indonesia-rata-rata-175-persen
  3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan 2013; 2 (2): 1-10. https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-kespro.pdf
  4. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V; 2022 https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/indonesia-darurat-kekerasan-seksual

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s