Edukasi Seks yang Bertanggung Jawab untuk Seluruh Lapisan Usia

Ketika membicarakan tentang ‘pendidikan seks’, orang awam sering menganggap bahwa yang diajarkan adalah cara berhubungan seksual. Pandangan ini tentu saja amat keliru! Edukasi seksualitas yang komprehensif, alias comprehensive sexuality education (CSE), justru bertujuan untuk mendorong kita menjadi pribadi yang mandiri, memiliki pengetahuan kesehatan diri kita sendiri, mampu membangun kehidupan rumah-tangga yang sehat, memiliki perspektif sosial yang lebih adil, serta mencegah hal-hal yang tak diinginkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) atau infeksi menular seksual.

Survei UNFPA menunjukkan bahwa hanya 28% anak muda yang merasa pernah diberikan edukasi seksualitas komprehensif, sementara itu kasus KTD, pernikahan anak, dan penyebaran HIV masih terus tinggi.1 Sampai saat ini Indonesia belum memiliki kurikulum khusus terkait CSE, pendidikan seks masih terus ditabukan sehingga masyarakat (terutama minoritas dan marjinal) tidak punya akses informasi kespro yang baik. Survei Magdalene juga menunjukkan bahwa 98.5% anak berusia 15-19 tahun di Indonesia mengaku membutuhkan edukasi seks yang baik. Mereka berisiko mendapat informasi yang tidak akurat dari sumber yang tidak bertanggung jawab.2

Hal ini pernah diperbincangkan dalam diskusi daring kolaborasi Dokter Tanpa Stigma dengan Daya Riset dan Advokasi Perempuan Indonesia (Droupadi) serta Perkumpulan Samsara pada Mei 2020; bahwa edukasi seksualitas komprehensif (CSE) adalah salah satu titik awal untuk mencegah berbagai fenomena sosial seperti kekerasan seksual, pernikahan anak, penyebaran infeksi, serta KTD. Menurut Ni Luh Gusti Madewanti, yang kerap disapa Anti, konselor dan founder Droupadi, CSE paling baik diajarkan di usia remaja sebagai bekal mengeksplorasi dan membentuk nilai-nilai positif mengenai kesehatan reproduksi.

Edukasi Berbasis Hak dan Kesetaraan Gender

Pada tahun 2009, UNESCO dengan didukung beberapa lembaga lain yaitu UNICEF, UNFPA, UNAIDS, dan WHO, merilis panduan CSE berupa kurikulum yang memiliki beberapa prinsip penting:3

  • Memiliki dasar ilmiah dan akurat.
  • Relevan dengan konteks dan budaya setempat.
  • Bersifat inkremental, alias berkembang perlahan-lahan, mengikuti kesesuaian usia dari anak sampai dewasa. Selain mengikuti usia, tahap perkembangan anak juga disesuaikan (termasuk penyesuaian pada anak dengan developmental delay/ perkembangan terhambat).
  • Komprehensif, yaitu memiliki kurikulum di bidang biologis serta sosial, seperti tabel berikut:
BiologisSosial
Anatomi dan fisiologi organ-organ reproduksi
Pubertas dan menstruasi
Reproduksi mulai dari kontrasepsi, kehamilan, sampai persalinan
Infeksi menular seksual, termasuk HIV/AIDS
Pemahaman seksualitas
Otonomi tubuh dan consent
Hak asasi manusia dan kesetaraan gender
Hubungan rumah-tangga, keluarga, dan interpersonal yang sehat

Dengan demikian, menurut Anti dalam diskusi di atas, CSE bisa mendorong individu untuk membuat keputusan mandiri dan memiliki bargaining position (terutama perempuan, yang sering mengalami ketimpangan relasi kuasa). Maka, penting juga adanya edukasi tentang kekerasan seksual, termasuk pernikahan anak dan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan.

Ibu mengajarkan anak dengan grafik anatomi reproduksi perempuan
Foto: Cottonbro, Pexels

Menurut panduan UNESCO, edukasi seks yang baik memiliki tujuan nyata berupa:3

  • Usia pertama kali berhubungan seksual menjadi lebih dewasa (anak dan remaja sebaiknya jangan didorong untuk menikah dini, dan sebaiknya menunda berhubungan seksual sampai usia dewasa)
  • Frekuensi dan jumlah pasangan yang lebih sedikit (yang paling aman adalah setia dengan satu pasangan saja)
  • Penggunaan kondom dan KB semakin digalakkan (untuk mencegah IMS dan KTD)
  • Perilaku-perilaku berisiko tinggi bisa dikurangi (seperti seks tanpa pengaman, menyalahgunakan alkohol, bertukar jarum suntik, dan lain-lain)

Pemaparan di atas bisa disingkat menjadi ABCDE:

  • A (Abstinence): Tidak berhubungan seks kecuali jika bisa bertanggung jawab
  • B (Be faithful): Setia dengan satu pasangan saja (baik menikah atau tidak)
  • C (Condom): Alat bantu pencegahan IMS serta KTD (perlu diingat bahwa hanya karena sudah memakai kondom, bukan berarti kita boleh tidak bertanggung jawab)
  • D (Don’t use drugs): Tidak menyalahgunakan obat-obatan dan bertukar jarum suntik
  • E (Education): Adanya pendidikan komprehensif dan sumber informasi yang akurat

Perilaku Seksual yang Bertanggung Jawab/ Responsible Sexual Behavior

Seks yang bertanggung jawab bukan hanya tentang mencegah kehamilan, namun juga terkait dengan pemahaman diri sendiri dan pembelajaran tentang hubungan yang sehat. Istilah free sex alias seks bebas sering disamakan dengan premarital sex (seks di luar nikah) atau unsafe sex (seks tanpa pengaman), padahal ketiga istilah ini tidak selalu sejalan. Sewajarnya, hubungan seks memang harus bebas. Bebas di sini maksudnya adalah tanpa paksaan, manipulasi, dan tekanan dari pihak mana pun. Bebas juga bukan berarti tanpa tanggung jawab.

Perilaku seksual yang bertanggung jawab ini pernah juga dibahas dalam obrolan antara dr. Sandra dari Dokter Tanpa Stigma dengan Karina Negara, chief psychologist dan co-founder Kalm, pada Februari 2022.

Dari obrolan ini, dapat disimpulkan beberapa pertimbangan yang wajib dipikirkan sebelum seseorang memutuskan untuk berhubungan seks.

  1. Cukup umur, yaitu di atas 19 tahun. Pada usia remaja, otak kita belum cukup berkembang sempurna untuk bisa membuat keputusan yang matang. Jadi, hubungan seks sebaiknya dimulai pada usia dewasa.
  2. Siap mental. Salah satu yang terpenting adalah self-esteem yang baik, yang dapat mencegah agar kita tidak terjebak dalam fear-based relationship. Jangan sampai kita mau saja melakukan hubungan seks dengan alasan takut ditinggal pasangan! Kesiapan mental juga diperlukan sehingga kita bisa memvalidasi perasaan pasangan kita ketika menyatakan kesiapan/ ketidaksiapan, agar bisa terjadi diskusi dan komunikasi yang aman dalam kondisi tenang. Ini diperlukan untuk mencegah risiko terjebak dalam hubungan yang abusif atau manipulatif.
  3. Sadar dan tanpa paksaan. Keputusan harus dibuat saat tidak dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan lain, serta tanpa paksaan dari pihak mana pun. Sebaiknya emosi kita juga dalam keadaan netral sehingga tidak terbawa suasana. Yang terpenting, ada consent dari kedua belah pihak.
  4. Mengetahui risiko, seperti infeksi menular seksual (IMS), kehamilan yang tidak direncanakan (KTD), dan kekerasan dalam hubungan intim.
  5. Mau berusaha mencegah risiko. Dengan mengetahui risiko-risiko ini, kita juga harus berusaha mengantisipasi dan melakukan pencegahan yang perlu, seperti memakai kontrasepsi, memeriksakan IMS secara berkala, dan vaksin HPV. Selain itu, ada baiknya sebelum risiko-risiko ini terjadi, bicarakan dengan pasangan kita langkah-langkah apa yang akan diambil jika hal tersebut terjadi, dan pastikan untuk menjalani risiko tersebut bersama-sama.

Edukasi Seks Dasar untuk Anak dan Keluarga

Tidak, ini bukan berarti mengajarkan hubungan seksual kepada anak! Edukasi seks yang ditujukan untuk anak berfokus pada pemahaman konsep otonomi tubuh, sehingga anak memiliki pemahaman tentang consent, untuk mencegah pelecehan seksual. Kurikulum terbitan UNESCO sudah memberikan panduan detail untuk semua umur mulai dari rentang usia 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15-18 tahun ke atas. Panduan ini memiliki delapan konsep kunci, antara lain hubungan sosial; nilai-nilai, hak, budaya, dan seksualitas; pemahaman gender; pencegahan kekerasan; pemahaman kesehatan; tubuh manusia dan perkembangannya; perilaku seksual; dan kesehatan reproduksi.3

Sebagai contoh, edukasi tentang kekerasan seksual:

  • Usia 5-8 tahun, anak diajarkan mengenai bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang orang lain, mengenali ruang aman (rumah) dan ruang publik (sekolah dan tempat-tempat lain); namun tetap bisa terjadi hal yang tak diinginkan di ruang aman, sehingga anak juga diajarkan untuk melapor pada orang dewasa yang dipercaya jika mengalami pelecehan (bagian tubuh tadi dipegang orang lain, dan sebagainya).
  • Usia 9-12 tahun, anak bisa memahami apa itu kekerasan seksual, apa saja bentuk-bentuknya, dan bahwa kekerasan seksual adalah perbuatan yang tidak dibenarkan; serta tahu ke mana harus melapor.
  • Usia 13-15 tahun, anak bisa memahami hal konseptual seperti aspek diskriminasi sosial dan relasi kuasa yang membuat kekerasan seksual membudaya; anak bisa membantu melaporkan jika menyaksikan terjadinya kekerasan.
  • Usia 15-18 tahun ke atas, bisa mengembangkan skill psikologi dan komunikasi dengan orang terdekat/ pacar, agar bisa mengenali relasi toksik dan hubungan yang abusif; serta mengembangkan tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat untuk bersama-sama mencegah kekerasan.

Data dari World Bank menunjukkan bahwa 7.3% anak Indonesia di level sekolah dasar mengalami putus sekolah, sehingga mereka hanya memiliki akses pendidikan kespro dari LSM.4 Mengenai hal ini, UNFPA juga telah merilis CSE yang ditujukan untuk anak-anak putus sekolah, yang tidak bisa mendapatkan akses penyuluhan dari sekolah.5

Adanya kurikulum yang komprehensif saja belum cukup untuk mengembangkan edukasi seks yang baik. Selain kurikulum, ekstensi pengajaran tentunya mesti luas, dengan cara didukung oleh hukum dari para pembuat kebijakan yang mendorong pendidikan. Proses belajar pun harus memiliki kualitas baik, sehingga para pengajar harus diberikan pelatihan yang cukup. Hal ini juga harus didukung oleh keluarga dan masyarakat luas agar penyuluhan dapat diaplikasikan dengan merata.1

Referensi:

  1. United Nations Population Fund (UNFPA). The Journey Towards Comprehensive Sexuality Education: Global Status Report. New York: United Nations Population Fund; 2021. https://www.unfpa.org/publications/journey-towards-comprehensive-sexuality-education-global-status-report
  2. Kirnandita P. What Teens Need: Comprehensive Sex Education. Magdalene; 2021. https://magdalene.co/story/the-ideal-comprehensive-sex-education-for-adolescents
  3. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). International Technical Guidance on Sexuality Education: An Evidence-Informed Approach. Revised Ed. Paris: The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization; 2018. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000260770
  4. Dzulfikar LT. How to Teach Sex Education in Indonesia: Academics Weigh In. The Conversation; 2019. https://theconversation.com/how-to-teach-sex-education-in-indonesia-academics-weigh-in-122400
  5. United Nations Population Fund (UNFPA). International Technical and Programmatic Guidance on Out-of-School Comprehensive Sexuality Education (CSE). New York: United Nations Population Fund; 2020. https://www.unfpa.org/featured-publication/international-technical-and-programmatic-guidance-out-school-comprehensive

2 pemikiran pada “Edukasi Seks yang Bertanggung Jawab untuk Seluruh Lapisan Usia

  1. Ping balik: Lingkaran Setan Stigma Infeksi Menular Seksual – Dokter Tanpa Stigma

  2. Ping balik: Bapak-Bapak Jangan Malu ke Poli KB: Kontrasepsi Bukan Cuma Urusan Perempuan! – Dokter Tanpa Stigma

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s