POV Marcelline (Founder Sehatara)
Perkenalkan, saya Marcelline, panggil saya Cece. Saya punya mimpi, di masa depan Indonesia bisa menjadi sebuah negara “tanpa batas”. Semua hal bisa diakses oleh siapa saja, semua orang bisa berteman, bekerjasama dengan siapa saja.
Mimpi ini berawal dari pengalaman hangat di masa kecil saya di lingkungan dengan budaya beragam. Tidak memandang asal, budaya, gelar, dan sosial ekonomi, saya bisa asyik bermain dengan tetangga sekitar. Kala itu, tahun 1998, di Bogor.
Tahun 2000, keluarga memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Lingkungan di Jakarta sangat berbeda. Sebagai anak, saya malah seringkali diajarkan untuk mengkotak-kotakkan seseorang berdasarkan fisik, ras, agama, dan budayanya. Bahkan di sekolah pun teman-teman cenderung mencari kelompok yang punya latar belakang “sama”.
Semasa kecil, saya sering di-bully oleh teman-teman karena penampilan saya yang tomboi dan culun. Saya tumbuh dalam lingkungan yang penuh penolakan, tidak ada pujian, yang hanya ada tuntutan, label ‘jelek’ selalu dilontarkan keluarga. Semua itu membuat saya merasa sulit menerima diri sendiri. Anak perempuan biasanya membayangkan bisa menjadi seorang gadis yang diidamkan, saya merasa tidak pernah bisa menjadi sosok itu.
Dengan situasi yang ada, saya mendorong diri untuk berusaha keras, belajar supaya mendapatkan nilai bagus dan juara kelas. Tujuannya agar mendapat pengakuan dari orang-orang sekitar. Namun hal ini ternyata tidak baik. Ketika menghadapi kegagalan, saya sering merasa seolah dunia runtuh dan sangat frustasi. Kemudian berputar lagi pada rasa tidak percaya diri dan cemas.
Tahun 2019, pertama kalinya saya bertemu dengan teman-teman Tuli. Pengalaman ini sangat luar biasa. Teman-teman Tuli adalah orang-orang pertama yang bisa menerima diri saya dengan baik tanpa peduli siapa saya, apa gelar saya, kenapa penampilan saya seperti ini.
Ada satu pengalaman yang paling menyentuh dan mengubah saya. Saat itu, di sebuah kelas Bisindo (kelas bahasa isyarat), ada seorang teman Tuli yang mengetukkan jarinya di meja seperti sedang mengikuti ketukan sebuah lagu. Kemudian ia bertanya pada teman Tuli itu, ”Kamu bisa mendengarkan musik?”
“Musik? Tidak mungkin,” jawab teman Tuli itu, Radit namanya.
“Tapi, apa teman Tuli bisa menikmati musik?”
“Ya, dengan getarannya. Maka itu aku suka musik Hiphop,” jawab Radit.
“Kamu tahu beatbox?” saya bertanya.
“Tahu. Kamu bisa?” kata Radit dengan ekspresi wajah yang begitu antusias. Aneh rasanya. Orang-orang dengar ketika melihat saya beatbox biasanya malah berkata hobi saya aneh. Tapi Radit malah menunjukkan ekspresi yang begitu kagum seolah ketertarikannya begitu tulus dari dalam hati.
“Iya, bisa,” jawab Cece.
“Wah! Keren banget!”
“Hm? Keren? Orang-orang bilang aneh… Kok keren?” Tanya saya semakin bingung.
“Hei, kamu itu U-N-I-K, bukan aneh. Setiap orang itu memiliki keunikannya masing-masing.. Dan itu keren!” kata Radit dengan ekspresi wajahnya yang masih sulit untuk dilupakan sampai sekarang. Sejak hari itu, saya bisa menerima diri sendiri, saya jadi lebih percaya diri, dan lebih berani menunjukkan jati diri. Saya sekarang paham bahwa semua orang bernilai, termasuk diri saya sendiri.
Hari-hari koas yang tersisa dengan adanya hambatan pandemi pun dilalui. Tapi sejak saat itu semuanya berbeda. Segala kecemasan dan ketakutan berkurang karena kini saya lebih percaya diri. Ketika kesulitan dan kekhawatiran datang, berbicara dengan teman Tuli menjadi obat yang menyembuhkan dan menguatkan hati. Mereka tak pernah menghakimi, tetapi membimbing agar saya bisa lebih menerima dan berani menghadapi situasi yang ada.
Saya selalu berusaha untuk mengingat bahwa teman-teman Tuli menjalani hal yang lebih sulit. Tapi teman-teman Tuli (dengan kemampuan visual yang lebih tajam daripada orang dengar) menunjukkan perhatian yang lebih daripada orang-orang dengar. Mereka seringkali tahu lebih dulu mengenai situasi kita yang sedang lelah atau sedih, lalu menanyakan keadaan kita.
Tahun 2021, ketika menunggu sumpah dokter gigi, saya mengingat perjalanan saya menjadi Marceline yang sekarang. Teman-teman disabilitas adalah bagian besar dari jangka hidup yang hanya dalam waktu 2 tahun rasanya sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa daripada 23 tahun sebelumnya. Mungkin ini adalah waktunya untuk membalas segala kebaikan teman-teman Tuli dan disabilitas lainnya. Maka terbersitlah… Sehatara.
Awal tahun 2021 Marceline menyampaikan gagasannya tersebut kepada sahabatnya, Britania (yang biasa dipanggil Tesa). Selama ini Tesa memiliki semangat berkontribusi dalam banyak aksi sosial khususnya pendidikan. Ia langsung mengiyakan gagasan tersebut.

POV Tesa (Co-founder Sehatara)
Halo, saya Britania, atau bisa dipanggil Tesa. Saya tidak punya alasan khusus mengapa saya segera mengiyakan ajakan Marceline. Tapi justru perjalanan bersama Sehatara membuat saya menemukan ‘alasan’ tersebut.
Keikutsertaan saya dalam membangun Sehatara dimulai dengan banyak ketakutan dan keraguan. Berbeda dengan Marceline yang sudah lebih dulu terlibat dalam dunia Teman Tuli, Tesa merasa bahwa ini adalah dunia yang sangat baru untuknya. Perasaan takut tidak diterima, culture shock, kecemasan mewarnai proses membangun Sehatara bersama Marceline. Tapi ternyata semua perasaan negatif tadi ditepis oleh hangatnya penerimaan yang diterimanya dari Tim Tuli maupun Netra. Saya sadar, bahwa hambatan komunikasi bukan perkara yang krusial apabila kedua belah pihak mau sama-sama belajar dan menghargai satu sama lain.
Puncaknya terjadi di awal Juli 2021, saya terdiagnosis suatu penyakit pada kedua parunya berupa penumpukan cairan akut (pleural effusion) serta adanya massa jinak di paru kanannya. Selama sebulan saya tidak bisa tidur dalam posisi terlentang akibat adanya cairan yang menekan paru-paru dan jantung. Saya selalu merasa kesakitan seperti tertusuk setiap bernapas sehingga saya sulit berfungsi sehari-hari.
Saya terpaksa harus cuti dari pekerjaan selama beberapa bulan untuk menjalankan berbagai tes penunjang dan terapi obat selama setahun. Masa-masa ini merupakan masa terberat untuk saya. Lebih dari sekedar sebuah vonis atau diagnosis, adanya ketidakpastian akan kondisi tubuh saya, prognosis penyakit, ditambah dengan kondisi jauh dari keluarga yang ada di Pekanbaru, membuat saya harus berperan ganda (ebagai pasien maupun wali pasien/significant others). Saat itu Indonesia sedang dalam masa puncak pandemi COVID varian Delta, penerbangan dari Pulau Sumatera ke Jakarta di batasi. Saya juga mempertimbangkan usia orang tua yang termasuk kelompok rentan, membuat saya memutuskan untuk tidak mau dikunjungi oleh orang tua.
Seketika saya melabeli diri sebagai “Disabled“. Stigma tidak bisa melakukan apa-apa, tidak berdaya, tidak berguna, dan ketidakpastian akan berbagai hal datang bersamaan. Saya merasa dunia perlahan berhenti.
Tentunya gagasan untuk berhenti dari berbagai kegiatan, termasuk Sehatara muncul berulang kali. Namun Yang Kuasa tampaknya memiliki narasi lain, saya justru menemukan semangat dan alasan untuk bertahan hidup dalam perjalanannya bersama Sehatara.
Saat visitasi daring ke beberapa komunitas seringkali saya mendapat banyak insight baru. “Kami mungkin memang Netra/Tuli, tapi sebagai manusia kita diberi kapasitas adaptif. Bila ada kekurangan di salah satu indra, maka akan diberikan sensing lebih di indra lainnya”. Kami memang berbeda, tapi bukan berarti kami tidak mampu. Tidak ada orang yang terlahir sebagai Disable, yang ada ialah lingkungannya yang membatasi perannya dan menjadikannya Disabilitas.
Tak jarang Teman Tuli dan Netra memberikan support hangat melalui pesan surel maupun video singkat selama saya berjuang melawan penyakitnya di kamar kos berukuran 3×4. Menerima banyaknya gesture hangat dan kata-kata encouragement membuat saya dapat bertahan melalui masa-masa sulit tersebut, dan tentunya memberikan ikatan emosional yang dalam terhadap komunitas ini. Hal ini pula yang membuat saya tetap berkomitmen untuk dapat berkontribusi dan membangun Sehatara bersama Tim Nakes maupun Tim Disabilitas lainnya. Bagi saya Sehatara adalah zona nyaman saya. Ternyata berbeda itu indah. Dan saya sadar bahwa apa yang terlihat sebagai kelemahan bisa menjadi sumber kekuatan yang besar dan untuk tujuan-tujuan besar pula.
Finding Sehatara
Sehatara merupakan sebuah platform edukasi kesehatan yang menjembatani Nakes dan Teman Disabilitas untuk saling berbagi informasi. Tim kami terdiri atas teman-teman tenaga kesehatan, teman-teman Tuli, dan disabilitas lainnya yang saling bekerja sama dalam semua kegiatan kami.
Visi dan misi Sehatara adalah ingin menjembatani nakes dan disabilitas di Indonesia agar tidak ada lagi jurang komunikasi dan edukasi di antara keduanya. Nakes mengedukasi disabilitas, dan sebaliknya disabilitas pun bisa dan berhak mengedukasi nakes. Sehatara berprinsip bahwa komunitas ini bukan tempat untuk melayani tapi tempatnya kami bekerjasama.


Saat ini Sehatara sudah memiliki beberapa nakes yang tergabung baik sebagai Tim Inti maupun volunteer, mulai dari 5 orang dokter umum, 6 orang dokter gigi, dan 1 orang psikolog yang sudah berperan membantu edukasi hingga konsultasi pribadi teman-teman internal Sehatara. Selain itu juga ada 5 Teman Tuli dan 4 Teman Netra (berkolaborasi dengan komunitas Mitra Netra) dalam tim Sehatara.
Sehatara rutin mengadakan webinar, miniclass dan Instagram live untuk nakes dan teman-teman Tuli terkait beragam isu. Sebentar lagi, Sehatara akan rutin mengadakan kegiatan offline karena pandemi sudah mulai terkontrol.


Pertanyaan kami untuk kalian: Apa harapan teman-teman untuk Indonesia di masa depan? Apa yang mau teman-teman lakukan untuk Indonesia sehat dan setara?
Ingin berkenalan lebih lanjut dengan Sehatara, silakan mengunjungi Instagram mereka di sini.
Artikel ini ditulis oleh Marceline dan Tessa, dua sahabat dengan sejuta mimpi.