Sadarkah teman-teman, bahwa tenaga medis memiliki peran yang amat penting dalam proses penanganan korban kekerasan seksual? Tidak jarang, fasilitas kesehatan adalah salah satu tempat yang dituju oleh korban untuk mencari pertolongan pertama, bahkan sebelum ke kantor polisi. Selain memberikan penanganan medis, penanganan psikologis, dan berperan secara medikolegal sebagai saksi ahli, tenaga kesehatan (nakes) sebagai sosok yang dianggap penting oleh masyarakat memiliki kewajiban untuk memberikan ruang aman bagi korban dan menghentikan stigma terhadap korban kekerasan.

Photo by Alex Green on Pexels.com

Sejak September 2023 lalu, Yayasan IPAS Indonesia menginisiasi ruang-ruang diskusi dan kolaborasi dengan Komunitas Dokter Tanpa Stigma sebagai wadah untuk membangun inisiatif dalam membangun sinergi untuk mendorong layanan aborsi aman (khususnya bagi korban kekerasan seksual) sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Melalui diskusi-diskusi online yang diadakan, ada beberapa kebutuhan yang diidentifikasi oleh anggota Komunitas Dokter Tanpa Stigma, salah satunya dalam hal membangun ruang aman untuk membahas stigma dan nilai-nilai terkait aborsi dalam konteks peraturan dan perundangan di Indonesia. Untuk merespon kebutuhan tersebut, Yayasan IPAS Indonesia mengadakan workshop Value Clarification and Action Transformation (VCAT) terkait stigma aborsi sesuai regulasi bagi tenaga kesehatan muda pada November 2023.

Sementara pada 2 April 2024, Yayasan IPAS Indonesia bersama Komunitas Dokter Tanpa Stigma kembali mengadakan diskusi online untuk membahas manajemen klinis perkosaan. Diskusi online ini bertujuan untuk membangun ruang aman diskusi yang mampu meningkatkan kepedulian dan pengetahuan tenaga kesehatan terkait isu reproductive justice atau keadilan reproduksi. Peserta diharapkan mampu memahami akar penyebab kekerasan seksual, mengidentifikasi kekerasan, memberikan pertolongan pertama kepada korban, dan mengenali manajemen klinis perkosaan dalam layanan kesehatan. Harapannya, seri diskusi yang membahas isu-isu relevan seputar keadilan reproduksi ini dapat memperkuat empati serta kepedulian nakes dalam memberikan layanan kesehatan, terutama bagi perempuan dan anak perempuan.

Menilik Regulasi Terkait Aborsi dan Kekerasan Seksual di Indonesia

Pada Agustus 2023, pemerintah telah mengesahkan UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang menggantikan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Dalam UU Kesehatan baru yang dikenal sebagai UU Omnibus Kesehatan ini, aturan terkait pengecualian aborsi diperluas bukan hanya bagi indikasi medis dan kehamilan akibat perkosaan, melainkan juga untuk kehamilan karena kekerasan seksual lainnya. Batasan usia kehamilan untuk aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya juga diperluas, dari enam minggu menjadi empat belas minggu. Undang-undang baru ini dapat kita lihat sebagai sebuah peluang untuk memastikan hadirnya layanan aborsi aman di Indonesia yang dapat diakses oleh perempuan dan anak perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan (KTD).

Baca Juga: Menuju Dekriminalisasi Aborsi untuk Korban Perkosaan

Sayangnya, hingga saat ini belum ada implementasi jelas dari pemerintah agar korban bisa mendapatkan akses layanan yang dibutuhkan, sesuai dengan UU tersebut. Sementara itu, peraturan pengecualian aborsi untuk korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang mengalami kehamilan pun beririsan dengan regulasi lainnya, yakni UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam UU TPKS telah dinyatakan bahwa salah satu hak korban adalah pemulihan kesehatan. Dan saat ini kita masih menunggu peraturan turunan dari UU TPKS yang mengatur teknis ketersediaan layanan kesehatan yang terintegrasi dan komprehensif untuk korban kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS). Situasi ini merupakan tantangan besar bagi lembaga dan komunitas yang berperan mendampingi korban KBGS.

Dari sini dapat kita sepakati bahwa tenaga medis memiliki peran penting dalam membangun ruang aman dan memberikan pemulihan kesehatan yang dibutuhkan korban, termasuk juga dalam hal pelaksanaan aborsi aman yang sesuai dengan perundang-undangan. Kegiatan diskusi online “Manajemen Klinis Perkosaan” ini dihadiri oleh 27 anggota Komunitas Dokter Tanpa Stigma sebagai peserta, yang kesemuanya adalah tenaga kesehatan dari berbagai bidang. Sesuai keprihatinan akan isu-isu kekerasan dan aborsi, ada empat isu yang menjadi bahan diskusi utama dalam workshop tersebut:

  • Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual?
  • Mengapa pelaku melakukan kekerasan seksual?
  • Mengapa orang yang melihat atau mendengar kasus kekerasan seksual tidak memberikan bantuan?
  • Mengapa petugas kesehatan tidak mau memberikan kontrasepsi darurat kepada korban kekerasan seksual?

Apakah Kita Tanpa Sadar Mendukung Rape Culture?

Setelah berdiskusi berdasarkan poin-poin utama tersebut, lahirlah sebuah kesadaran bahwa kekerasan seksual adalah situasi yang sangat kompleks dan multidimensi. Setiap orang yang terpapar atau terlibat dalam kekerasan seksual, baik korban, pelaku, sampai bystander (termasuk tenaga medis), memiliki beragam dimensi yang dapat mempengaruhi penghayatan dan perilakunya terhadap korban dan kekerasan seksual itu sendiri.

Kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan dari Mitra Kadarsih, bidan praktisi dan Health System Strengthening dari Yayasan IPAS. Mitra mengawali pemaparannya dengan pengenalan tentang akar KBGS dan bias diri, kemudian menjelaskan tentang piramida kekerasan seksual terhadap perempuan, atau yang kita kenal dengan istilah piramida rape culture.

Gambar: Piramida Kekerasan Seksual, Perempuan Berkisah

Dari piramida ini, kita bisa melihat bahwa kekerasan seksual tidak terjadi tiba-tiba. Ada lapis demi lapis kekerasan, yang bisa saja berawal dari candaan seksis yang sering dianggap normal bahkan lucu, kemudian meningkat menjadi stereotipe negatif berdasarkan gender. Bila tidak ada konsekuensi dari tindakan-tindakan diskriminatif berdasarkan gender yang dianggap sepele ini, pelaku akan semakin merasa nyaman dan menganggap bahwa ancaman dan kekerasan seksual verbal adalah hal biasa. Normalisasi bias gender dan tindakan diskriminatif ini kemudian akan makin mengerucut menjadi tindak kekerasan seksual fisik, perkosaan, kekerasan finansial, dan puncaknya pembunuhan perempuan atau femisida.

Panduan untuk Tenaga Medis dalam Menghadapi Korban Kekerasan

Sebagai tenaga medis, penting bagi kita untuk melakukan introspeksi: apakah sebagai individu kita juga pernah, atau bahkan sering, berkontribusi dalam piramida kekerasan ini tanpa kita sadari? Meskipun terlihat sebagai masalah “kecil”, akan tetapi candaan seksis atau pemikiran yang mengobjektifikasi perempuan, serta kebiasaan menganggap perempuan sebagai kelompok masyarakat yang lebih inferior, merupakan penyumbang terbesar dalam rape culture dan menjadi fondasi dari piramida ini.

Jadi, kita dapat melakukan refleksi diri terlebih dahulu, juga menghilangkan bias internal yang mungkin saja kita miliki dan sering menjadi dasar pemikiran sehari-hari kita. Dengan kesadaran ini, barulah kita sebagai tenaga medis bisa menggali lebih lanjut: apa yang bisa kita kontribusikan untuk memecah piramida ini, serta mendampingi korban dalam pemulihan kesehatannya sesuai kapasitas profesional kita?

Dalam panduan WHO yang bertajuk Clinical Management of Rape and Intimate Partner Violence Survivors, ada 8 langkah manajemen klinis bagi korban/penyintas perkosaan yang dapat diikuti oleh tenaga medis, antara lain:

  • Dengarkan serta tanyakan kebutuhan dan kekhawatiran korban. Berikan validasi untuk menunjukkan bahwa yang dialami dan dirasakan korban adalah valid.
  • Siapkan informed consent dan siapkan juga korban untuk menghadapi pemeriksaan selanjutnya.
  • Lakukan history-taking atau anamnesis dengan cara menggali informasi serta pengalaman dan riwayat korban dengan cara yang empatik.
  • Lakukan pemeriksaan fisik lengkap termasuk pemeriksaan genitoanal.
  • Berikan pengobatan sesuai kebutuhan korban.
  • Tingkatkan keamanan dan rujuk ke fasilitas lainnya jika ada indikasi.
  • Lakukan penilaian status kesehatan mental dan berikan dukungan psikososial.
  • Lakukan follow-up atau tindak lanjut sebagai bagian dari pelayanan keberlanjutan.

Komunitas Dokter Tanpa Stigma Berkomitmen Turut Mengambil Peran Krusial

Sebagai gerakan sosial sekaligus komunitas nakes dalam perlawanan terhadap stigma, komunitas Dokter Tanpa Stigma berkomitmen untuk turut serta mendukung pelayanan medis yang holistik terhadap korban kekerasan dengan cara membangun tim jejaring konsultan medis untuk korban KBGS. Rencananya, tim jejaring advokat medis ini akan dirilis oleh Dokter Tanpa Stigma pada tahun 2024. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kekerasan seksual dan manajemen klinis untuk perkosaan sangat penting bagi para anggota komunitas.

Kami berharap, diskusi online ini dapat menjadi pembangkit semangat bagi peserta untuk mengawali workshop bertema Manajemen Klinis untuk Penyintas Perkosaan yang akan dilaksanakan berikutnya oleh komunitas Dokter Tanpa Stigma, berkolaborasi dengan Yayasan IPAS Indonesia. Dengan demikian, para anggota sekaligus tim jejaring akan semakin menambah wawasan bersama terkait penyebab, faktor-faktor, dan cara penanganan korban KBGS yang baik.

Sudah saatnya tenaga medis Indonesia bekerja sama untuk menumpas kejahatan berbasis gender yang sudah lama sekali dilanggengkan dan dinormalisasi. Salah satu cara bagi kita untuk mulai peduli adalah dengan melakukan introspeksi diri dan belajar untuk menghilangkan akar-akar rape culture dalam diri kita. Penanganan korban kekerasan seksual haruslah dilaksanakan dengan empatik, tanpa menghakimi, sembari memberikan akomodasi sesuai kebutuhan pasien dalam ruang aman.

Tinggalkan komentar

Quote of the week

Hidup bisa jauh lebih mudah bagi perempuan seandainya kita berhenti menstigma, menghina, mempermalukan dan mulai menyisihkan ruang bergerak untuk mereka. (Bebaskan Kami Berkontrasepsi, EA Books)

Designed with WordPress