Masalah edukasi kontrasepsi cukup memicu polemik ketika dibuatnya RKUHP yang cenderung bertendensi untuk mengkriminalisasi edukasi KB. Kini, KUHP baru yang telah disahkan tahun 2023 menyatakan bahwa menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak dapat dipidana (kecuali petugas yang berwenang untuk penyuluhan). Padahal, anak di usia remaja justru sangat membutuhkan edukasi kontrasepsi, yang seharusnya bisa didapatkan dari semua anggota masyarakat, termasuk orangtua dan guru.

Dalam podcast Indonesia Tanpa Stigma yang dilaksanakan beberapa waktu seusai Hari Kontrasepsi Sedunia 26 September 2022, beberapa masalah umum terkait stigma dan tabu kontrasepsi dibahas, seperti bagaimana individu yang hendak membeli kondom di toko akan diberi tatapan negatif dari pegawai toko maupun pembeli lainnya, atau perempuan yang terlihat muda akan dimintai status kawin di KTP oleh pihak apotek jika ingin membeli pil KB.

Tonton video lengkap Indonesia Tanpa Stigma di sini.

Stigma dan tabu di kalangan masyarakat ini menunjukkan bahwa fungsi kontrasepsi direduksi menjadi ‘alat untuk berzina’, padahal alat seperti kondom fungsinya tidak hanya untuk mencegah kehamilan, tetapi juga mencegah infeksi menular seksual (IMS); dan pil KB juga bisa digunakan sebagai pengobatan berbagai masalah medis hormonal yang juga dapat terjadi pada remaja. Orang yang sudah menikah pun membutuhkan kontrasepsi.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan dilaporkan pada perempuan kelompok umur 15-19 tahun dua kali lebih besar (16%) dibandingkan kelompok umur 20-24 (8%). Sementara itu, data Guttmacher Institute tahun 2008 menunjukkan bahwa sekitar 2 juta aborsi dilakukan di Indonesia setiap tahunnya. Bahkan, menurut SDKI, kematian akibat aborsi di Indonesia mencapai 30 persen. Kemudian, Australian Consortium For ‘In-Country’ Indonesia Studies tahun 2013 melaporkan persentase tindakan aborsi nasional sebesar 43 persen per 100 kelahiran hidup.

Baca Juga: Menghadapi Kehamilan yang Tidak Direncanakan

“Kalau pemerintah selalu berusaha menggaungkan [visi untuk] mengurangi angka kematian ibu, tetapi kemudian mengabaikan variabel-variabel ini (kehamilan yang tidak direncanakan, atau aborsi yang tidak aman), maka [tujuannya tidak akan tercapai],” jelas dr. Sandra Suryadana dari Dokter Tanpa Stigma dalam podcast Indonesia Tanpa Stigma tersebut. Sementara itu, masyarakat berasumsi bahwa aborsi tidak aman pasti dilakukan karena kehamilan di luar nikah, padahal aborsi lebih banyak dilakukan oleh individu yang sudah menikah.

Remaja dan Kontrasepsi: Edukasi KB Bukanlah Mengajarkan Zina

Photo by cottonbro studio on Pexels.com

Pasal dalam KUHP yang melarang menunjukkan kontrasepsi kepada anak masih perlu ditelaah kembali. Pertama, belum ada kejelasan tentang siapa pihak yang dianggap berwenang dalam edukasi, dan siapa yang memberikan kewenangan tersebut. Kedua, penunjukan petugas ini berpotensi membuat layanan kespro menjadi sentralistik; sertifikasi pun berpotensi memicu banyak masalah baru. Ketiga, ini bertentangan dengan PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, di mana peran edukasi KB seharusnya bisa dipegang oleh masyarakat dan komunitas. Dengan adanya pembatasan, peran orangtua dalam edukasi juga jadi problematik.

Sementara itu, anak dalam usia remaja juga sangat membutuhkan edukasi tentang kesiapan seksual, kesiapan untuk menikah kelak, dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi termasuk kontrasepsi. Edukasi seks komprehensif (comprehensive sexuality education/CSE) yang dilakukan secara berkelanjutan pun seharusnya sudah dimulai sejak usia dini, dan materi tentang kontrasepsi sudah harus diberikan pada usia 12-15 tahun (pubertas). Materi ini bukan sekadar tentang mencegah kehamilan, tetapi juga tentang kesehatan reproduksi, siklus menstruasi, perubahan fisik dan psikologis, sampai perencanaan kehidupan.

Baca Juga: Edukasi Seks yang Bertanggung Jawab untuk Seluruh Lapisan Usia

Bertepatan dengan Hari Kontrasepsi Sedunia tahun 2020, Dokter Tanpa Stigma juga sempat mengadakan diskusi online dengan dr. Dyana Safitri, Sp.OG, co-founder Komunitas AKAR Indonesia, terkait kontrasepsi untuk remaja. Diselenggarakannya Hari Kontrasepsi Sedunia ini sebetulnya berangkat dari isu pemenuhan hak reproduksi semua orang, termasuk raising awareness for young people, dalam hal ini juga remaja. Ternyata, sejak usia remaja pun memang edukasi tentang kontrasepsi sudah dibutuhkan.

Tonton rekaman lengkapnya di sini.

Apa Saja Edukasi Seks yang Diberikan untuk Remaja?

Saat ini, remaja masih lebih sering mendapatkan edukasi yang sifatnya hitam-putih saja, misalnya, “Pokoknya kamu tidak boleh hamil/pacaran,” tanpa diiringi ilmu pengetahuan lebih lanjut tentang kesehatan, kehamilan, consent, dan lain-lain. Beban ini juga lebih sering diberikan kepada anak perempuan karena dianggap wajib menjaga kehormatan keluarga. Padahal, seharusnya semua individu bertanggung jawab atas kehormatan diri dan keluarganya masing-masing, laki-laki maupun perempuan.

Dalam edukasi seks yang komprehensif yang bertanggung jawab, kita mengenal mnemonic ABCDE (abstinence, be faithful, condom, (no) drugs, education). Bisa kita simpulkan bahwa hal utama yang paling penting adalah abstinence sebagai pilihan paling aman, terutama untuk remaja. Secara medis, memang remaja tidak dianjurkan untuk terpapar hubungan seksual sejak dini. Jadi, kita memang harus menekankan pentingnya abstinence alias tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. Poin ini baru bisa tersampaikan jika edukasi seks diberikan secara komprehensif, bukan hanya memberitahu benar-salah secara hitam-putih.

Kontrasepsi sering kita kenal dengan istilah family planning atau perencanaan keluarga. Dalam hal ini, meskipun usia umum menikah dan memiliki anak biasanya berada dalam rentang pertengahan 20-an, tetapi edukasinya sudah harus diberikan sejak jauh-jauh waktu sebelumnya. Jadi, meskipun belum menikah, tetapi edukasi sudah diberikan sejak remaja, agar bisa sejak awal membuat perencanaan keluarga dengan sebaik-baiknya. Fokus edukasi yang baik bukanlah berfokus pada alat-alat kontrasepsi semata, tetapi perencanaan kehidupan yang matang di masa depan.

Setelah seseorang melewati usia remaja dan memasuki usia dewasa kemudian menikah, bukan berarti ilmu tersebut menjadi tidak berguna lagi. Orang yang sudah menikah pun membutuhkan pengetahuan kesehatan reproduksi termasuk kontrasepsi, dalam hal ini untuk merencanakan kehamilan, menjarangkan kehamilan, juga membatasi jumlah anak sesuai rencana kehidupan masing-masing. Jadi, ilmu ini merupakan bekal penting yang akan selalu dibutuhkan sepanjang kehidupan kita.

Edukasi Seks yang Baik Harus Dimulai Sejak Dini oleh Orangtua

Photo by Julia M Cameron on Pexels.com

Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019 yang mendata 9805 puskesmas di Indonesia, hanya 2035 (20,8 persen) puskesmas yang memiliki dan dapat menunjukkan Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja, sementara 1390 (14,2 persen) puskesmas mengaku memiliki, namun tidak dapat menunjukkan pedoman tersebut. Mayoritas sisanya, sekitar 6380 (65,1 persen) puskesmas, bahkan tidak memiliki Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja. Artinya, harapan kita untuk memberikan edukasi kespro yang komprehensif dari fasilitas kesehatan masih berupa harapan semata.

Baca Juga: Jalan Panjang Menuju Edukasi Kespro yang Baik di Indonesia

Edukasi seks komprehensif (CSE) seharusnya sudah diberikan sejak usia dini, bahkan usia 3-5 tahun. Sejak kecil hingga dewasa, edukasi yang diberikan bersifat berkelanjutan dalam tahap demi tahap. Dimulai dengan mengajarkan tentang organ-organ tubuh, bagian tubuh yang merupakan privasi, konsep consent saat orang lain menyentuh kita, hingga hal-hal yang lebih kompleks seperti siklus hormon, kontrasepsi, sampai kekerasan seksual. Pengetahuan ini tentunya diberikan sesuai dengan usia anak dan sesuai dengan value yang diyakini oleh keluarga, menurut dr. Dyana dalam sesi diskusi live tersebut.

Tentu saja, tidak semua orangtua memiliki pengetahuan dan wawasan yang sama terkait kespro dan kontrasepsi. Bisa jadi, orangtua sendiri masih dalam tahap belajar tentang dunia kespro. Akan tetapi, bukan berarti orangtua bisa lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada guru di sekolah. Orangtua dalam hal ini berperan untuk membimbing anak-anaknya dalam mencari informasi yang akurat dan memilah-milah infomasi yang ada, bahkan bisa belajar bersama.

Oleh karena itu, edukasi seks sangat dibutuhkan dan harus diberikan sejak mulai dari dalam keluarga, dimulai dari orangtua, kemudian dilanjutkan oleh guru-guru di sekolah, tenaga kesehatan di faskes, hingga komunitas, LSM, dan masyarakat umum. Hal ini memang seharusnya dikulik kembali di dalam KUHP 2023 yang baru. Dengan adanya pendidikan reproduksi yang baik, diharapkan pemahaman kolektif kita terkait kespro akan semakin membaik pula, diiringi semakin berkurangnya stigma dan tabu yang selama ini masih terus memberatkan kita, terutama remaja dan anak-anak muda penerus generasi bangsa.

Anda dapat membaca lebih lanjut tentang kompleksitas KB dan edukasinya dalam buku Bebaskan Kami Berkontrasepsi, Seri Gender dari Penerbit EA Books.

Tinggalkan komentar

Quote of the week

Hidup bisa jauh lebih mudah bagi perempuan seandainya kita berhenti menstigma, menghina, mempermalukan dan mulai menyisihkan ruang bergerak untuk mereka. (Bebaskan Kami Berkontrasepsi, EA Books)

Designed with WordPress